Era pendudukan Jepang
Ketika
Jepang berkuasa di Indonesia, bangsa ini sangat ingin menghapuskan pengaruh
Belanda di Indonesia. Sebaliknya, Jepang ingin menanamkan kebudayaannya sendiri
dan mengembangkannya bersama-sama kebudayaan asli. Misalnya, membiasakan senam
pagi dilanjutkan dengan seikerei atau menghormati matahari setiap pagi dengan
membungkukkan badan ke arah timur, menyelenggarakan tonarigumi atau rukun
tetangga untuk mengumpulkan iuran bagi kepentingan perang, dan pengembangan
bahasa. Jepang sangat memedulikan pengembangan bidang sastra.
Untuk
menghapuskan pengaruh Belanda, Jepang melarang penggunaan bahasa Belanda dan
sebaliknya, mengembangkan bahasa Indonesia dengan mendirikan Komisi Bahasa
Indonesia. Tugas komisi ini adalah mengembangkan dan memperbanyak
perbendaharaan bahasa. Bahasa Jepang dan bahasa Indonesia wajib digunakan di
kantor-kantor dan sekolah-sekolah. Nama-nama kota dan jalan diganti dalam
bahasa Indonesia. Misalnya, Batavia diganti Jakarta, Meester Cornelis diganti
Jatinegara, Buitenzorg diganti Bogor.
Pada jaman pendudukan Jepang kehidupan ekonomi
rakyat sangat menderita. Lemahnya ekonomi rakyat berawal dari sistem bumi
hangus Hindia Belanda ketika mengalami kekalahan dari Jepang pada bulan Maret
1942. Sejak itulah kehidupan ekonomi menjadi lumpuh dan keadaan ekonomi berubah
dari ekonomi rakyat menjadi ekonomi perang. Langkah pertama yang dilakukan
Jepang adalah merehabilitasi prasarana ekonomi seperti jembatan, alat-alat
transportasi dan komunikasi. Selanjutnya Jepang menyita seluruh kekayaan musuh
dan dijadikan hak milik Jepang, seperti perkebunan-perkebunan, bank-bank,
pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan, telekomunikasi dan lainlain. Hal ini
dilakukan karena pasukan Jepang dalam melakukan serangan ke luar negaranya
tidak membawa perbekalan makanan Kebijakan ekonomi pemerintah pendudukan Jepang
diprioritaskan untuk kepentingan perang. Perkebunan kopi, teh dan tembakau yang
dianggap sebagai barang kenikmatan dan kurang bermanfaat bagi kepentingan
perang diganti dengan tanaman penghasil bahan makanan dana tanaman jarak untuk
pelumas.
Pola ekonomi perang yang dilancarakan oleh
Tokyo dilaksanakan secara konsekuen dalam wilayah yang diduduki oleh angkatan
perangnya. Setiap lingkungan daerah harus melaksanakan autarki (berdiri di atas
kaki sendiri), yang disesuaikan dengan situasi perang. Jawa dibagi atas 17
lingkungan autarki, Sumatra atas 3 lingkungan dan daerah Minseifu (daerah yang
diperintah Angkatan Laut Jepang) dibagi atas 3 lingkungan autarki. Karena
dengan sistem desentralisasi maka Jawa merupakan bagian daripada “Lingkungan
Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya” mempunyai
dua tugas, yakni:
·
memenuhi kebutuhan sendiri untuk tetap bertahan,
·
mengusahakan produksi barang- barang untuk kepentingan perang.
Seluruh kekayaan alam Indonesia dimanfaatkan
Jepang untuk biaya perang. Bahan makanan dihimpun dari rakyat untuk persediaan
prajurit Jepang seharihari, bahkan juga untuk keperluan perang jangka panjang.
Beberapa tindakan Jepang dalam memeras sumber daya alam dengan cara-cara
berikut ini :
1.
Petani wajib menyetorkan hasil panen berupa padi dan jagung
untuk keperluan konsumsi militer Jepang. Hal ini mengakibatkan rakyat menderita
kelaparan.
2.
Penebangan hutan secara besar-besaran untuk keperluan industri
alat-alat perang, misalnya kayu jati untuk membuat tangkai senjata. Pemusnahan
hutan ini mengakibatkan banjir dan erosi yang sangat merugikan para petani. Di
samping itu erosi dapat mengurangi kesuburan tanah.
3.
Perkebunan-perkebunan yang tidak ada kaitannya dengan keperluan
perang dimusnahkan, misalnya perkebunan tembakau di Sumatera. Selanjutnya
petani diwajibkan menanam pohon jarak karena biji jarak dijadikan minyak
pelumas mesin pesawat terbang. Akibatnya petani kehilangan lahan pertanian dan
kehilangan waktu mengerjakan sawah. Sedangkan untuk perkebunan-perkebunan kina,
tebu, dan karet tidak dimusnahkan karena tanaman ini bermanfaat untuk
kepentingan perang.
4.
Penyerahan ternak sapi, kerbau dan lain-lain bagi pemilik
ternak. Kemudian ternak dipotong secara besar-besaran untuk keperluan konsumsi
tentara Jepang. Hal ini mengakibatkan hewan-hewan berkurang padahal diperlukan
untuk pertanian, yakni untuk membajak. Dengan dua tugas inilah maka serta kekayaan
pulau Jawa menjadi korban dari sistem ekonomi perang pemerintah pendudukan
Jepang.
Cara yang ditempuh untuk pengerahan tenaga
Romusha ini dengan bujukan, tetapi apabila tidak berhasil dengan cara paksa.
Untuk menarik simpati penduduk, Jepang mengatakan bahwa Romusha adalah pahlawan
pekerja yang dihormati atau prajurit ekonomi. Mereka digambarkan sebagai orang
yang sedang menunaikan tugas sucinya untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya.
Sedangkan panitia pengerah Romusha disebut Romukyokai. Di samping rakyat, bagi
para pamong praja dan pegawai rendahan juga melakukan kerja bakti sukarela yang
disebut Kinrohoshi. Pemimpin-pemimpin Indonesia membantu pemerintah Jepang
dalam kegiatan Romusha ini. Bung Karno memberi contoh berkinrohonsi (kerja
bakti), Bung Hatta memimpin Badan Pembantu Prajurit Pekerja atau Romusha. Ali
Sastroamijoyo, S.H. mempelopori pembaktian barang-barang perhiasan rakyat untuk
membantu biaya perang Jepang.
Akibat dari Romusha ini jumlah pria di
kampung-kampung semakin menipis, banyak pekerjaan desa yang terbengkelai,
ribuan rakyat tidak kembali lagi ke kampungnya, karena mati atau dibunuh oleh
Jepang. Coba bandingkan dengan rodi pada jaman penjajahan Belanda! Untuk
mengawasi penduduk atas terlaksananya gerakan-gerakan Jepang maka dibentuklah
tonarigumi (rukun tetangga) sampai ke pelosok pelosok pedesaan. Dengan demikian
sumber daya manusia rakyat Indonesia khususnya di Jawa dimanfaatkan secara
kejam untuk kepentingan Jepang. Akibat dari tekanan politik, ekonomi, sosial
maupun kultural ini menjadikan mental bangsa Indonesia mengalami ketakutan dan
kecemasan.
http://e-dukasi.net
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_%281942-1945%29#Aspek_Ekonomi_dan_Sosial
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_%281942-1945%29#Aspek_Ekonomi_dan_Sosial
0 Tanggapan:
Post a Comment